Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi
sudah sangat pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing
menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya
berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan senantiasa
menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui bagaimana pandangan syariat
terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak mudah terjerumus ke dalam
larangan-Nya.
Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah
sistem kredit, yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai
(pembayaran ditangguhkan atau diangsur).1
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar
dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط).
Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu
beberapa bagian.
Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti
hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan
sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.
Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan
oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang,
sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman
ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran
dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan
Muslim: 1603)
Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.
Rambu-Rambu Kredit
Meskipun pada dasarnya jual-beli kredit adalah
diperbolehkan, akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi
praktisi jual beli kredit. Di antaranya adalah:
1. Obyek jual beli bukan komoditi ribawi yang sejenis dengan
alat tukar
Sebagaimana sudah ma’ruf bahwa para ulama membagi komoditi
ribawi menjadi dua kelompok. kelompok pertama adalah kategori barang yang
menjadi alat tukar atau standar harga, seperti; emas, perak, uang, dll. Dan
kelompok yang kedua adalah kategori bahan makanan pokok yang tahan lama,
seperti; gandum, kurma, beras, dll.
Hal yang perlu diketahui bahwa akad barter atau jual beli
antara dua komoditi ribawi yang masih dalam satu kelompok (misalkan emas dengan
uang, atau gandum dengan kurma) harus dilakukan secara tunai. Artinya tidak
boleh ada kredit di dalamnya (harus kontan) agar tidak terjadi praktik riba
nasi’ah.
Dasarnya adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ رباً إلا مِثْلًا بِمِثْلٍ ويَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَد
“Menukarkan emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum
sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba,
kecuali dengan dua syarat:
sama ukurannya
dan dilakukan secara tunai (cash)
Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok)
maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara
tunai” (HR Muslim).
Konsekuensi dari penjelasan di atas, maka tidak
diperbolehkan jual beli uang, valas, emas atau alat tukar sejenisnya dengan
cara kredit.
2. Hindari penundaan serah terima barang
Di dalam akad kredit tidak boleh ada penundaan serah terima
barang. Sebab hal itu merupakan praktik jual beli hutang dengan hutang.
Artinya, barang masih berada dalam tanggungan penjual dan uang pun juga masih
berada dalam tanggungan pembeli.
Inilah praktik jual beli dain bid dain yang disepakati
keharamannya oleh para ulama. Sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam
kitab beliau, Al-Mughni2.
Diriwayatkan di dalam sebuah hadis dari Ibnu ‘Umar
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan
hutang.” (HR. Hakim: 2343)
Imam Al Hakim menilai hadis ini sebagai hadis yang shohih
sesuai syarat Muslim, akan tetapi kebanyakan ulama menilai hadis ini sebagai
hadis yang lemah, tidak bisa dijadikan dalil3. Meskipun demikian mereka
bersepakat untuk menerima maknanya. Sebagaimana perkataan Ibnul Mundzir yang
dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, beliau mengatakan, “Para ahli ilmu telah
bersepakat bahwa jual beli hutang dengan hutang tidak diperbolehkan. Imam Ahmad
mengatakan, “Ini adalah ijma’.”4
Harga Ganda dalam Jual Beli Kredit
Di antara hal penting yang perlu kita ketahui juga adalah
akad jual beli kredit dengan harga ganda. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
Seorang penjual menawarkan barang dagangan kepada para pembeli dengan beberapa
penawaran harga. Jika dibayar secara kontan maka harganya sekian rupiah (satu
juta misalnya), akan tetapi jika dibayar secara kredit maka harganya sekian
(dua juta misalnya), dst.
Kenyataannya praktik semacam inilah yang banyak berkembang
di dalam jual beli kredit. Oleh karena itu penting kiranya kita mengetahui
tinjauan syariat terhadap sistem perniagaan seperti ini.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi transaksi
seperti ini. Mayoritas para ulama membolehkan praktik jual beli kredit semacam
ini, dengan catatan sudah terjadi kesepakatan harga antara penjual dan pembeli
sebelum mereka berpisah. Artinya pembeli sudah menentukan pilihan harga dan
pihak penjual juga sudah menyepakati hal itu.
Pendapat ini berdasarkan kaidah dalam muamalah bahwa hukum
asal setiap perniagaan adalah halal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah ta’ala
dalam firman-Nya,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ
الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)
Oleh karena itu selama tidak ada dalil yang valid nan tegas
yang mengharamkan praktik semacam ini, maka perniagaan tersebut halal atau
boleh dilakukan.
Dan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa akad jual
beli seperti ini tidak boleh5. Pendapat ini didukung oleh sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang dual transaksi dalam satu jual beli.” (HR. Tirmidzi: 3/1290 dan Nasai:
7/296)6
Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam An Nasa’i. Beliau
membuat sebuah judul bab “Transaksi Ganda dalam jual beli” (بيعتين في بيعة) kemudian beliau mengatakan, “Yaitu
perkataan seseorang, ‘saya jual dagangan ini seharga seratus dirham cash/tunai,
dan dua ratus dirham secara kredit.”
Pendapat yang Lebih Kuat
Perbedaan pendapat ini didasari atas perbedaan mereka dalam
memahami konteks hadits ini. Ulama yang memperbolehkan transaksi ini, mereka
berpendapat bahwa transaksi tersebut (kredit dengan harga ganda) bukanlah
transaksi yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah di atas. Sedangkan pendapat
ke dua yang mengharamkan transaksi ini, mereka berpendapat bahwa transaksi
kredit adalah contoh riil dari hadis di atas.
Pendapat yang lebih kuat -wallahu a’lam- adalah pendapat
yang pertama yang mengatakan bolehnya transaksi seperti ini. Sebab penafsiran
yang lebih tepat sebagaimana disampaikan oleh Ibnul Qayyim dan yang lainnya7,
bahwa makna hadits ini ialah larangan dari jual beli sistem ‘inah. Yaitu
seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang
dengan syarat sang penjual membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal
secara kredit.
Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa alasan:
Pada hakikatnya di dalam kasus jual beli di atas tidak
terjadi dua transaksi, sebab meskipun ada variasi harga akan tetapi sang
pembeli hanya memilih salah satu harga saja. Itu artinya harga yang disepakati
oleh penjual dan pembeli hanya satu saja, bukan ganda. Sedangkan yang dilarang
di dalam hadis di atas adalah jual beli dengan akad ganda.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيءٍ فَليُسْلِفْ فِي
كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Barang siapa yang membeli dengan
cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang
jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim:
1604)
Hadis di atas menunjukan bolehnya akad salam (akad
pemesanan). Sebagaimana dalam akad salam diperbolehkan mengakhirkan penyerahan
barang dengan syarat pembayaran kontan serta ukuran dan waktu penyerahannya
jelas, maka boleh juga dalam akad kredit mengakhirkan penyerahan uang dengan
syarat peyerahan barang secara kontan serta nominal pembayaran dan waktu
pembayarannya jelas.
Catatan Penting
Ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam
akad jual beli kredit. Di antaranya adalah;
Jika pembeli sudah menentukan pilihan harga, maka maka
sebesar itulah jumlah uang yang berhak di ambil oleh penjual. Pihak penjual
tidak berhak untuk mengambil lebih, sekalipun pembeli terlambat melunasi
pembayaran.
Misalnya, “A” membeli barang kepada pihak “B” dengan harga
10 juta dibayar kredit selama satu tahun. Jika ternyata pihak “A”tidak mampu
melunasi dalam tempo satu tahun, maka pihak “B” tidak berhak menaikkan harga
yang telah disepakati.
Jika barang sudah berada di tangan pembeli dan kesepakatan
harga juga sudah disetujui, maka barang dagangan resmi menjadi milik pembeli.
Dengan demikian, penjual tidak berhak menyita atau menarik kembali barang
dagangannya meskipun uang cicilan kredit belum selesai.
Demikian penjelasan singkat yang dapat saya sampaikan.
Semoga bermanfaat.
**
Daftar Pustaka:
As Syaukani, Muhammad. (2005). “Nailul Author”. Darul Hadis:
Kaero, Mesir.
Al Albani, Nasiruddin. “As Silsilah Ash Shahihah”. Darul
Ma’arif: Riyadh.
Badri, Arifin. Dr. (2009). “Hukum Perkreditan: Masalah dan
Solusinya”. Tersedia:
http://pengusahamuslim.com/hukum-perkreditan-masalah-dan-solusinya#.UzHdo3uXOSo.
[21 April 2009]
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia
2 Al-Mughni: 3/306
3 Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para pakar hadis
melemahkan hadis ini.” (Nailul Authar: 5/164-165). Syaikh Albani juga menilai
hadis ini sebagai hadis dho’if (lihat Dha’if Al Jami’ : 6061)
4 Al-Mughni: 3/306
5 Di antara ulama
yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Auza’I (lihat: Nailul Authar: 5/
160) dan juga ulama-ulama yang lain, seperti; Ibnu sirin, Thawus, Sufyan
Ats-Tsauri, syaikh Albani, dll. Sebagaimana dinukilkan oleh syaikh Albani
tatkala mengomentari hadis no. 2326 di dalam silsilah As Shahihah.
6 Hadis ini
dihasankan oleh Imam Tirmidzi, demikian pula dihasankan oleh syaikh Albani di
dalam Al-Misbah no. 2868
7 Tahdzibus Sunan
Sumber Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar:
Posting Komentar